SASTRA KEBANGKITAN NASIONAL
SASTRA KEBANGKITAN NASIONAL
Banyak sudah tragedi yang ia jalani.
Semua warna telah ia pandang.
Segala rasa telah ia kecap.
Keras benar hidupnya.
Pantas saja tatapannya begitu dingin.
Wajahnya tampak serius.
Senyumnya jarang.
Hidup sendiri dan suka menyepi.
Malam begitu sejuk.
Semilir angin bertiup lembut merayu tubuh melaju ke ruangan imajiner.
Rembulan tampak malu menutup diri di belakang awan yang berkumpul pekat.
Bintang berkelip berbaris rapi membentuk gugusan-gugusan kecil berpola plural.
Seakan tak punya rasa, fenomena alamiah tak juga membuat ia beranjak dari keakuannya.
Detik demi detik berlalu.Putaran waktu semakin cepat berdetak.Ia tak juga merubah posisi keakuannya.
Tampaknya, ia sedang berpikir keras.
Memeras otak untuk menelaah setiap detail hal-hal yang tak rasional menurutnya.
Kini, idealisme bertumbuk dengan realita.
Kegigihan berbentur dengan kenyataan.
Ia tak habis pikir, "mengapa bisa !"
Sejenak kemudian, ia merubah pola keakuannya.
Ia dekati kalbu.
Bertualang menggunakan kendaraan hati yang memiliki kepekaan.
Di tengah perjalanan, ia berharap dapat menemukan satu titik pemberhentian polah liarnya.
Oohhh... "Ternyata sama !"
Matanya memerah.Tak lama mulai sembab.
Kemudian perlahan keluar air dari sudut mata bulatnya.
Semakin deras, mengalir membentuk aliran tak berpola melewati dagu dan menetes jatuh.
Ia usap perlahan menggunakan tangannya yang kasar.
Kondisi bagian tubuh yang terbentuk akibat sering difungsikan untuk melakukan banyak pekerjaan.
Ia tercenung, meratapi diri yang begitu kekar kaku namun tak berdaya.
Terbayang sekelebat, kokohnya karang yang terkikis oleh desiran ombak besar dan rintikan hujan.
Bopeng, berlubang, rapuh, hancur setelah bertahan di tengah tekanan yang mendera.
Oohhh.... Kasian !
Dukanya terlihat mendalam.
Kesedihannya tak bisa disembunyikan.
Ia tua....Menunggu mati dalam keadaan tersiksa.
Memendam lara.
Mendekam di balik jeruji penjara jiwanya.
Pejuang-pejuangku....Engkau begitu heroik dalam sejarah perjuangan.
Begitu mulia dalam kenangan.Laksana sakura di antara ilalang.Menjulang tinggi sekokoh gunung.
Berdiri tegak setegar karang.
Membahana dalam kidung reformasi jalanan.
Aku tau engkau luka.
Aku tau engkau pilu.
Aku tau Engkau lara.
Keakuanmu sudah tak ada lagi.
Yang tersisa tinggal histori.
Yang melekat tinggal impian.
Yang terjadi hanya harapan.
Angan kosong berkepanjangan....
Selamat tinggal kenangan.
Penggantimu akan berjuang untuk peradaban.
Keakuanmu akan menjadi semangat perbaikan.
Semua warna telah ia pandang.
Segala rasa telah ia kecap.
Keras benar hidupnya.
Pantas saja tatapannya begitu dingin.
Wajahnya tampak serius.
Senyumnya jarang.
Hidup sendiri dan suka menyepi.
Malam begitu sejuk.
Semilir angin bertiup lembut merayu tubuh melaju ke ruangan imajiner.
Rembulan tampak malu menutup diri di belakang awan yang berkumpul pekat.
Bintang berkelip berbaris rapi membentuk gugusan-gugusan kecil berpola plural.
Seakan tak punya rasa, fenomena alamiah tak juga membuat ia beranjak dari keakuannya.
Detik demi detik berlalu.Putaran waktu semakin cepat berdetak.Ia tak juga merubah posisi keakuannya.
Tampaknya, ia sedang berpikir keras.
Memeras otak untuk menelaah setiap detail hal-hal yang tak rasional menurutnya.
Kini, idealisme bertumbuk dengan realita.
Kegigihan berbentur dengan kenyataan.
Ia tak habis pikir, "mengapa bisa !"
Sejenak kemudian, ia merubah pola keakuannya.
Ia dekati kalbu.
Bertualang menggunakan kendaraan hati yang memiliki kepekaan.
Di tengah perjalanan, ia berharap dapat menemukan satu titik pemberhentian polah liarnya.
Oohhh... "Ternyata sama !"
Matanya memerah.Tak lama mulai sembab.
Kemudian perlahan keluar air dari sudut mata bulatnya.
Semakin deras, mengalir membentuk aliran tak berpola melewati dagu dan menetes jatuh.
Ia usap perlahan menggunakan tangannya yang kasar.
Kondisi bagian tubuh yang terbentuk akibat sering difungsikan untuk melakukan banyak pekerjaan.
Ia tercenung, meratapi diri yang begitu kekar kaku namun tak berdaya.
Terbayang sekelebat, kokohnya karang yang terkikis oleh desiran ombak besar dan rintikan hujan.
Bopeng, berlubang, rapuh, hancur setelah bertahan di tengah tekanan yang mendera.
Oohhh.... Kasian !
Dukanya terlihat mendalam.
Kesedihannya tak bisa disembunyikan.
Ia tua....Menunggu mati dalam keadaan tersiksa.
Memendam lara.
Mendekam di balik jeruji penjara jiwanya.
Pejuang-pejuangku....Engkau begitu heroik dalam sejarah perjuangan.
Begitu mulia dalam kenangan.Laksana sakura di antara ilalang.Menjulang tinggi sekokoh gunung.
Berdiri tegak setegar karang.
Membahana dalam kidung reformasi jalanan.
Aku tau engkau luka.
Aku tau engkau pilu.
Aku tau Engkau lara.
Keakuanmu sudah tak ada lagi.
Yang tersisa tinggal histori.
Yang melekat tinggal impian.
Yang terjadi hanya harapan.
Angan kosong berkepanjangan....
Selamat tinggal kenangan.
Penggantimu akan berjuang untuk peradaban.
Keakuanmu akan menjadi semangat perbaikan.
- HARI KEBANGKITAN NASIONAL -
#Mengikis apatisme menghargai semangat juang
0 komentar: